Kampung Batik Kauman
Mengunjungi salah satu destinasi favorit yang terletak di Kota Surakarta untuk belanja batik serta mempelajari pembuatannya
Penulis: Muhammad Irfan Al Amin | Editor: Ahmad Nur Rosikin
Profil Kampung Batik Kauman
TRIBUNSOLOWIKI.COM - Mengenal Kota Surakarta, tentu sangat identik dengan ragam budaya dan seni yang telah ada sejak Indonesia belum merdeka.
Salah satunya adalah batik yang menjadi ikon Kota Surakarta dan selalu dicari oleh para wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang selalu berkunjung untuk menjadi buah tangan.
Maka Kampung Batik Kauman menjadi salah satu jawaban untuk menjadi destinasi wisata dan belanja batik.
Sebelum menggunakan nama “Kampung Batik”, dan terkenal karena industrinya, Kauman merupakan sebuah kelurahan istimewa.
Secara historis, Kauman memiliki keterkaitan dengan keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta, bahkan usianya sama dengan Masjid Agung Surakarta yang dibangun oleh Pakubuwono III tahun 1757.
Menurut Sekretaris Kelurahan Kauman, Katiman Najib, asal kata Kauman berasal dari dua kata yaitu Kaum dan Beriman sehingga dijadikan satu menjadi Kaum Beriman dan oleh masyarakat mulai disebut dengan Kauman.
Berdirinya Masjid Agung merupakan bentuk tanggung jawab Raja Kasunanan Surakarta yang memiliki gelar Sayyidin Panatagama Khalifatullah yang berarti raja dan pemimpin agama.
Sebagai pelaksana dan perawat masjid, maka raja juga mengangkat penghulu yang diberi hak pakai atas sebidang tanah yang terletak di sebelah utara masjid.
Oleh Kasunanan Surakarta dibuat sebuah aturan bahwa tanah sekitar keraton hanya boleh ditempati oleh rakyat yang beragama Islam.

Hal tersebut disebutkan oleh Musyawaroh dalam tulisannya yang berjudul Deskripsi Tata Fisik Rumah Pengusaha Batik di Kauman Surakarta bahwa "Masjid Agung dan sekitarnya, tanahnya adalah milik keraton yang disebut Bumi Pemijen Keraton atau Domain Keraton Surakarta (DKS). Sedangkan Kauman disebut bumi mutihan atau bumi pamethakan, yaitu wilayah hanya boleh dihuni oleh rakyat (kawulo dalem) yang beragama Islam."
Maka seperti peraturan Kasunanan Surakarta, tidak ada penghuni Kauman yang beragama selain islam.
Di saat pertama kali berdiri sebgaia sebuah desa atau kelurahan, penghuninya yang merupakan penghulu pada bidang urusan masjid, dengan tugas antara lain:
a. Ketib / Khotib, yaitu ulama yang bertugas memberikan khutbah di setiap salat jumat dan menjadi imam di setiap salat lima waktu.
b. Modin, yaitu orang yang bertugas memukul bedhug masjid dan kentongan di setiap waktu sholat. Serta mengurusi beberapa kegiatan keagamaan di masyarakat seperti perkawinan dan kematian.
c. Qoyyim, asisten dari modin.
d. Marbot, juru kebersihan masjid.
Walaupun oleh Kasunanan Surakarta tanah Kauman diperuntukkan untuk para abdi dalem mutihan serta ulama dan pengurus masjid, telah ada orang-orang yang menghuni tempat tersebut.
Dikarenakan nilai histori yang terkandung pada bangunan dan potensi wisata kebudayaan yang ada di dalamnya dengan menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah konservasi budaya keraton.
Sejarah Batik Kauman

Adanya Kelurahan Kauman tentu tidak bisa lepas dengan keberadaan Keraton Surakarta, yang sedari awal menempatkan Kauman sebagai salah satu sub sistemnya yang ikut menunjang kehidupan keseharian keraton.
Pada mulanya saat awal pendirian Kelurahan Kauman, para warganya berprofesi sebagai abdi dalem ulama saja.
Namun seiring berjalannya waktu para masyarakat mulai mengembangkan profesi lain yaitu menjadi pengusaha batik, dari memproduksi dan mayoritas menjualnya kepada para penghuni keraton.
Pihak keraton sendiri sangat mendukung kegiatan membatik para abdinya tersebut, dan mereka tetap memberikan gaji serta jaminan hidup bagi abdi dalem.
Karena dukungan dari pihak keraton, iklim wirausaha di Kauman bertumbuh dengan pesat, hingga akhirnya permintaan pesanan tidak hanya bagi keraton saja namun juga menyebar di masyarakat lainnya.
Masyarakat Kauman dalam memproduksi batik melakukan pembagian kerja diantara suami dan istri, dengan menempatkan suami pada pekerjaan abdi dalem sebagai pencari nafkah utama dan istri tetap di rumah dengan mengisi waktunya membuat batik.
Dilansir dari buku Kauman: Religi, Tradisi dan Seni yang diproduksi Paguyuban Kampung Batik Kauman menyebutkan bahwa para istri abdi dalem tersebut belajar membatik dari para kerabat kebangsawanan keraton.
Kemampuan tersebut semakin diasah seiring dengan banyaknya jumlah pesanan yang mengalir, maka dengan pola kekerabatan yang dijunjung di Kelurahan Kauman, sebanyak apapun pesanan selalu mampu untuk dipenuhi.
Para istri abdi dalem membatik dengan menggunakan tangan secara langsung dan hanya berbekal canting, tidak seperti saat ini yang telah memiliki ragam modifikasi alat dan motif.
Namun seiring berkembangnya zaman, dan roda perekonomian berkembang sangat cepat, para abdi dalem keraton banyak merintis usaha dan menjadikannya sebagai komoditi utama.
Perkembangan Industri Batik Kauman

Transformasi industri batik di wilayah Kauman sangatlah pesat, hal ini terjadi dari cepatnya perubahan sistem industri batik yang sebelumnya merupakan industri rumahan dan mayoritas menjadikannya sebagai sambilan berubah menjadi usaha utama, walaupun secara skala usaha industri masih rumah tangga.
Kebutuhan industri batik pun semakin tinggi dan persaingan antar pengusaha pun terjadi, maka inovasi lain pun dicari dan salah satunya dengan metode cap.
Metode ini dikenalkan di pertengahan abad ke 19, dengan menggunakan cap yang terbuat dari garis-garis tembaga dan ditempelkan pada sebuah alas dan diberi pegangan.
Melalui alat tersebut jumlah produksi batik mampu ditekan dalam jumlah banyak dengan ongkos produksi leboh minimal, bahkan jumlah tenaga kerja juga mampu ditekan secara efisien.
Di saat kolonial Belanda membuka ekspansi perkebunan, dan masyarakat Surakarta banyak dipekerjakan sebagai buruh, keuangan Hindia Belanda kala itu mulai berputar dan salah satu komoditi yang paling banyak dibeli adalah kain dengan motif batik.
Akibat hal tersebut jumlah statistik kain katun impor mengalami kenaikan dua kali lipat dari 9.837 juta gulden di tahun 1850 naik menjadi 20.943 juta gulden di tahun 1860.
Satu dekade selanjutnya di tahun 1870, jalur kereta api mulai dibuka dan menghubungkan antar wilayah dari pedesaan ke kota, maupun dengan kota-kota lainnya.
Hal tersebut yang membuat keran ekonomi industri batik meningkat tajam, hingga pada tahun 1880, ekonomi Kota Surakarta sempat mengalami depresi.
Krisis yang bersifat internasional dan menyerang banyak wilayah di dunia kala itu tidak bertahan lama, dan memasuki abad ke-20 ekonomi kembali membaik.
Pada tahun 1910-an batik Solo mulai mendomiansi pasar nasional dan mulai bersaing dengan batik pekalongan terutama dalam pemasaran di wilayah Jawa Barat.
Meskipun ada banytak pabrik pembuatan batik yang ada di wilayah Kota Surakarta, namun Kauman dan Laweyan tetap menjadi sentra usaha.
Di Balik Proses dan Produksi Batik Kauman

Meningkatnya produksi batik, berbarengan juga dengan peningkatan taraf ekonomi masyarakat Kelurahan Kauman.
Walaupun batik menjadi komoditi bisnis, masyarakat Kauman tetap melakukan manajemen pembagian tugas yaitu para istri yang membuat batik dan menghasilkan guna membantu ekonomi rumah tangga, dan para suami tetap menduduki posisi abdi dalem yang menjadi guru agama atau ulama.
Namun seiring berjalannya waktu pelaku industri batik tidak hanya diikuti oleh para abdi dalem Keraton saja, dan melibatkan suami serta istri dalam sebuah industri rumah tangga.
Dalam memproduksi batik yang berperan aktif dalam mengawasi kinerja karyawannya adalah para suami dikarenakan laki-laki lebih memiliki wibawa dan lebih tegas dalam menegur karyawan.
Sedangkan istri melakukan kegiatan ekonomi dagang dikarenakan para istri memiliki kelebihan dalam hal pemahaman soal jenis batik, corak/motif, kualitas hingga harga, serta lebih luwes dalam melayani pembeli.
Namun untuk pemasaran ke luar kota, suami lebih punya andil dalam pengiriman barang dan masalah keuangan.
Dalam catatan Paguyuban Kampung Batik Kauman di tahun 1915 telah ada 225 tempat produksi batik dengan rata-rata memperkerjakan lebih dari 5 orang buruh dengan total 3608 buruh secara keseluruhan.
Untuk mengakomodasi kegiatan ekonomi batik di Kauman para pengusaha memperkuat diri mereka dengan membuat sebuah organisasi Gabungan Koperasi Batik Indonesia dan Koperasi Batik Batari.
Pudarnya Kejayaan Batik Kauman

Pasang surut ekonomi di Kauman dalam menjalankan jual beli dan produksi batik akhirnya terjadi, setelah sebelumnya mengalami era kejayaan dan menguasai pasar batik secara nasional.
Akhirnya masa jaya tersebut memudar di tahun 1960 akibat perubahan zaman dan kemajuan industri tekstil yang mampu menghasilkan kualitas dan kuantitas dengan harga lebih murah, sehingga meningkatkan persaingan dalam industri pakaian secara nasional dan menggoyang ekonomi pasar di Kauman.
Hal ini diperparah dengan harga kain mori yang mengalami kenaikan dan menyebabkan ongkos produksi tidak mampu dijangkau oleh pengusaha batik dan akhirnya membuat mereka menjadi gulung tikar.
Perkembangan fesyen di Indonesia juga sangat pesat dan mempengaruhi pola tata busana kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, terkhusus yang ada di Jawa.
Apalagi masyarakat Jawa yang dulu terbiasa menggunakan kain batik sebagai busana dalam keseharian dengan menjadikannya seperti jarik dan sarung, sedangkan di tahun 1970-an banyak masyarakat mulai meninggalkan pakaian tersebut dan beralih ke pakaian modern mengikuti gaya busana barat, seperti celana pantalon dan kemeja.
Ditambah lagi kebijakan pemerintah yang banyak menggantikan berbagai pakaian dari pegawai dinas hingga siswa sekolah yang dahulunya menggunakan kain batik mulai tergantikan dengan blus dan celana bagi pria dan perempuan memakai blus dan rok.
Akibatnya industri omset batik pun mengalami penurunan, ditambah lagi batik printing dengan produksi yang lebih cepat dan besar serta harganya lebih murah dan terjangkau bagi masyarakat.
Keadaan semakin parah saat generasi muda Kelurahan Kauman lebih memilih untuk menjadi dokter, insinyur ataupun profesi bergelar lainnya.
Di tahun 1980-an suasana Kelurahan Kauman pun mulai sepi dari hingar bingar suara para pembatik dan gemuruh suara api saat membabar (mewarnai dengan kulit soga, salah satu bahan pewarna pada kain batik) kain batik.
Kampung Batik Kauman

Setelah mengalami penurunan omset produksi batik di wilayah Kelurahan Kauman, banyak terjadi peralihan profesi yang semula pengusaha batik menjadi profesi lainnya.
Ataupun mulai mencoba usaha atau toko lain seperti menjual buku-buku keagamaan yang banyak dibeli oleh para peziarah Masjid Agung Surakarta hingga menjual kebutuhan pokok dan menjadikan toko batiknya menjadi warung kelontong.
Namun minat masyarakat Kauman untuk mengembalikan kejayaan batik sangatlah kuat hal tersebut terlihat dengan terbentuknya “Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman” atau biasa disingkat PKWBK.
Berdirinya PKWBK menjadi upaya rebranding Kelurahan Kauman menjadi "Kampung Batik Kauman" agar masyarakat Kota Solo maupun para wisatawan yang datang menjadikan Kauman sebagai destinasi wisata dan belanja.
Menurut Sekretaris PKWBK, Muhammad Shoim, saat Kauman belum menggunakan istilah Kampung Batik, sempat ada penurunan usaha dan produksi batik dan hanya menyisakan 8 pengusaha yang masih memproduksi dan menjual batik.
Setelah berdiri PKWBK, usaha koperasi pun mulai dibuka dan diberi nama Koperasi Serba Usaha (KSU) Syarikat Dagang Kauman (SDK) Surakarta yang diikuti oleh lebih dari 30 industri batik.
Para anggota koperasi dan paguyuban merupakan para pedagang batik di wilayah Kauman dari berbagai kalangan baik kecil maupun besar.
Melalui paguyuban, para pengusaha pun berbagai ide dan cerita untuk membangun Kauman agar dapat kembali berjaya seperti disaat pertama kali dirintis di abad ke 19.
Di antara usaha untuk merevitalisasi Kampung Batik Kauman adalah dengan mengadakan berbagai macam acara dengan tema membatik serta pameran edukasi kepada masyarakat, sehingga wisata membatik menjadi salah satu objek wisata yang ditawarkan kepada para pengunjung yang hadir.
Ciri khas dari setiap toko maupun industri yang ada di Kampung Batik Kauman membuat wisatawan bisa memilih beraneka ragam corak batik yang diinginkan, dari harga termurah dengan kisaran puluhan ribu hingga jutaan pun juga disediakan.
Bahkan menurut Sekretaris Kelurahan Kauman, Katiman Najib, pihaknya telah melakukan kerjasama dengan banyak pihak dalam upaya peningkatan industri di wilayah Kauman, diantaranya dengan universitas-universitas yang ada di Solo.
Kampung Batik Kauman yang dekat dengan Keraton serta berdampingan dengan Pasar Klewer menjadikan wilayah itu semakin ramai, ditambah lagi kampung tersebut juga dikelilingi jalan protokol pemerintah Kota Surakarta, sehingga banyak agen wisata yang menawarkan paket perjalanan dan memasukkan Kampung Batik Kauman sebagai salah satu destinasinya.
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!